Pajak hiburan menjadi salah satu elemen penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif pajak hiburan untuk diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan fasilitas seperti mandi uap atau spa telah ditetapkan dalam rentang 40% hingga 75%. Namun, usulan kenaikan tarif hiburan menjadi 20%-25% oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendapatkan sorotan, terutama dari pelaku usaha industri jasa hiburan.
Usulan Kemenparekraf Terkait Kenaikan Pajak Hiburan
Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, usulan kenaikan tarif menjadi 20%-25% merupakan solusi tengah antara meningkatkan penerimaan negara dan mendukung investasi pariwisata. Argumentasi tersebut juga diikuti dengan perbandingan tarif pajak hiburan Indonesia dengan negara tetangga seperti Singapura.
Kemenparekraf meyakini bahwa kenaikan tarif pajak hiburan dapat menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan, mendukung pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan daya saing industri pariwisata Indonesia di tingkat regional.
Kritik dari Pelaku Usaha
Namun, pelaku usaha industri jasa hiburan menentang keras usulan ini. Mereka berpendapat bahwa tarif minimum 40% yang telah ditetapkan sebelumnya sudah terlalu tinggi. Fajri Akbar dari Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyoroti bahwa penentuan tarif ini telah mengikat pengusaha, membatasi fleksibilitas mereka dalam menyesuaikan dengan kondisi pasar.
Bhima Yudhistira dari Center of Economic and LAW Studies (Celios) juga menambahkan bahwa aturan tersebut tidak melibatkan pelaku usaha dalam perumusannya. Menurutnya, kenaikan tarif yang signifikan dapat berdampak negatif terhadap industri yang baru saja pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Dampak Potensial terhadap Industri Hiburan
Kenaikan tarif pajak hiburan berpotensi menimbulkan dampak signifikan terhadap industri hiburan. Pertama, adanya kenaikan harga hiburan dapat menjadi hambatan bagi masyarakat dalam mengakses layanan tersebut, karena hiburan menjadi lebih mahal. Ini berpotensi mengurangi partisipasi konsumen dan mengurangi aksesibilitas hiburan bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Kedua, tarif pajak yang tinggi dapat mengurangi daya saing industri hiburan Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang mungkin memiliki tarif lebih rendah.
Baca Juga:
- Melihat Kinerja Surat Utang Indonesia Selama 2023
- Memahami Metode Penilaian Valuasi Intellectual Property (IP)
- Inflasi Indonesia 2023: Melihat Naik Turun Inflasi Indonesia Selama Tahun 2023
Hal ini dapat menyulitkan industri hiburan dalam menarik investasi dan menghadapi persaingan global. Terakhir, dampak kenaikan tarif pajak dapat memperlambat pemulihan industri hiburan dari dampak pandemi Covid-19. Pelaku usaha akan menghadapi kesulitan tambahan untuk bertahan dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, menghambat upaya pemulihan dan pertumbuhan sektor ini. Oleh karena itu, perlu pertimbangan yang matang dalam menetapkan tarif pajak hiburan agar tidak menghambat pertumbuhan industri dan tetap memperhatikan kebutuhan konsumen.
Kesimpulan
Pemerintah perlu mempertimbangkan secara cermat implikasi dari kenaikan tarif pajak hiburan. Sebagai solusi, pemerintah dapat mengadopsi pendekatan dialogis dengan pelaku usaha untuk menemukan titik tengah yang dapat mendukung keberlanjutan industri sambil tetap meningkatkan penerimaan negara. Dengan melibatkan stakeholders secara aktif, kebijakan pajak hiburan dapat lebih tepat sasaran dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.
Gimana nih menurut Ekuiddies ?